Sunday, January 15, 2012

MENGAWAL MURAL

[Works of Banksy]

Apakah kota perlu dikonstruksi menjadi suatu wilayah hunian-bisnis ideal sesuai harapan pemangku kepentingan? Ataukah kota dibiarkan tumbuh alami, tanpa rancang-bangun absolut? Begitu pula, apakah kehidupan seni kota memerlukan campur tangan eksternal agar bertumbuh-kembang? Ataukah rezim seni kota dilepas-bebas saja untuk menentukan nasibnya sendiri?

Kota tak boleh dibiarkan tumbuh mengonak-duri. Kota mesti dipersiapkan matang-matang: infra dan suprastrukturnya. Di dalamnya, seni mesti dipandu dan didukung daya hidupnya. Seni yang dipandu bukan berarti ditekuk gagasan atau ekspresivitasnya, melainkan dilapangkan kreativitasnya. Lebih dari itu, nyaris di seantero negara maju dan bertamadun, adab seni selalu disokong oleh negara dan kalangan filantropi. Disubsidi pula secara finansial.

Ada cabang seni yang, secara finansial, tak mampu menghidupi dirinya sendiri. Ada juga ragam seni yang cuma hidup dan dihidupi oleh dan di dalam komunitas terbatas. Langgam seni atau komunitas yang bekerja untuk edukasi publik, misalnya, hidup terseok-seok. Karenanya, berbagai bentuk sokongan—dari spirit hingga keuangan—perlu digelontorkan demi kelangsungan eksistensi seni, apa pun jenisnya.

Masalahnya, orang sering bertanya, untuk apa kehadiran seni, meski tanpa seni kehidupan pun berlangsung baik-baik saja. Inilah paradoksnya, seniman dan keseniannya adalah sejenis status, yakni status simbolik yang mendapatkan remunerasi tinggi dalam masyarakat sipil yang berbudaya.

Lalu, apakah mural atau grafiti, corat-coret yang dianggap mengotori wajah kota, terhitung ekspresi kebudayaan? Ya. Masyarakat beradab, yang menghargai pluralitas dan multikultur, niscaya membolehkan ekspresi seni urban itu punya hak hidup pula. Seni jalanan (street art) adalah subkultur di tengah kultur dominan yang acap tak ramah atau, bahkan, menindas.

Rezim seni kota jangan dibiarkan meniti eksistensinya sendiri dan, seperti yang kerap terjadi, lekas pula terkubur kiprahnya. Maka, tiap keping gagasan yang hendak menggairahkan seni kota patut diapresiasi. Gagasan Prof Eko Budihardjo, tentang muralisasi dinding pagar bangunan umum di Semarang (”Karya Seni Kota Semarang”, Suara Merdeka, Sabtu, 31/12/2011), perlu ditimbang bukan hanya dari pelaksanaannya, melainkan harus dicermati juga ideologi seni mural dan aspek estetiknya.

Eko Budihardjo berangan-angan, pada 2012 ada gerakan massal melukis seluruh dinding pagar bangunan umum di kota Semarang. Ia mencontohkan Stadion Jatidiri. Jika seluruh dinding yang mengelilingi lapangan sepak bola dilukis, barangkali bisa meraih penghargaan Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri).

Pada hemat saya, konsep massalisasi mural dan hasrat pencetakan rekor Muri adalah ide instan yang, sangat mungkin, tidak menghasilkan karya maksimal. Cara ini juga bukan metode baik untuk menumbuhkan ruang kreatif bagi jenis seni rupa jalanan mural-grafiti. Penghargaan mesti diupayakan dari hasil kerja yang terukur, bukan dari sejenis proyek muralisasi tembok semacam itu.

Kanalisasi Mural-Grafiti
Yang harus dilakukan, buka seluas-luasnya ruang kreatif untuk mural-grafiti atau genre seni rupa lainnya. Setakat ini pemerintah kota Semarang terasa abai pada perkembangan dan potensi seni rupa yang dimiliki kota ini.

Khusus tentang seni rupa jalanan, harus dicatat, meski praktik mural-grafiti acap dianggap mengotori wajah kota, sejatinya genre seni ini punya nilai, filosofi dan parameter estetik khusus. Para penggiatnya mesti diberi kanal agar gejolak jiwa urban mereka terwadahi secara benar.

Belum terlambat bila pemerintah kota memperhatikan kehidupan seni rupa kota. Sebenarnya produk estetik seni rupa mampu memperindah wajah kota. Hunian pun menjadi lebih humanis. Karya patung atau instalasi, misalnya, bisa melengkapi taman-taman kota atau area publik lain. Mural atau grafiti—demi tujuan praktis—niscaya bisa memperindah tembok bangunan atau gedung yang telantar.

Namun, mesti dicermati, ruang ekspresi mural-grafiti patut dikawal agar raut kota tak semena-mena dijejali banalitas sampah visual. Semarang pantas belajar dari pengalaman Yogyakarta: pelajari kreativitas seni mural-grafiti itu, termasuk ekses-eksesnya.

Masalahnya, bagaimana pemerintah dan senirupawan bersinergi mewujudkan kota yang indah lagi beradab. Pemerintah mesti cerdas bertindak. Kebijakan yang ditempuh tak boleh instan atau berupa proyek sesaat. Program terstruktur, berjangka panjang, sangat berarti menumbuhkan ruang kreatif seni rupa kota. Usul saya, adakan seminar dan temu senirupawan kota demi mewujudkan kota sebagai hunian yang estetis dan humanis.

Pada akhirnya seniman dan kehidupan seninya bakal menemu ruang hidup yang ideal. Publik pun akan bergelimang dengan karya dan kegiatan seni kota yang memperkaya batin. Dari sini, bila gagasan semisal muralisasi tadi dilaksanakan, ia punya legitimasi ideologis dan estetiknya.

TUBAGUS P SVARAJATI,
Kritikus seni rupa, tinggal di Semarang

[CATATAN: Dikirimkan ke kapling Wacana Lokal—Suara Merdeka, Rabu: 4 Januari 2012.]

No comments: