Pagi-pagi radio sudah terjaga. Siang merayap lekas. Udara gerah. Seperti pentas teater, setahap demi setahap ketegangan memuncak klimaks. Makin siang suasana makin tak menentu. Lagu-lagu mars menderas dari radio seperti sepatu lars yang berderap-derap. Sesekali suara penyiar Radio Republik Indonesia mengudara. Katanya, rakyat agar tenang di rumah masing-masing. Mahasiswa dan rakyat bahu-membahu berjuang menurunkan Suharto. Revolusi di ujung tanduk.
Dua minggu sebelumnya, di Jakarta, empat mahasiswa mati ditembus peluru aparat. Kejadian itu bak bara api tersiram bensin. Entah siapa yang memulai, massa yang beringas menjarah dan membakar pusat-pusat pertokoan. Kerusuhan melanda hampir di seluruh kawasan Ibukota. Jakarta terbakar dalam arti sebenarnya. Puncaknya, di ujung abad dua puluh itu—tarikh 1998—dunia saksikan kebiadaban di Indonesia: ratusan perempuan Tionghoa diperkosa dan sebagiannya bahkan dipanggang hidup-hidup. Puak Tionghoa jadi sasaran amok. Mereka dikambinghitamkan.
Di Semarang, meskipun kerusuhan belum ataupun tak diharapkan terjadi, kaum Tionghoa tak urung tergetar-gemetar. Mereka panik. Perasaan takut bagai tamu tak diundang, setia bertandang setiap waktu. Mereka pasrah. Sebagian yang lain mulai bersiap-bersiasat. Di rumah, kami siapkan berbagai senjata: dari pentungan sampai gobang berkilat terasah. Tak lupa kami sediakan puluhan botol plastik berisi cairan asam sulfat. Jika perusuh datang, kami akan melawan. Kami tak mau terpanggang di rumah kami sendiri. Mari sama-sama terbakar.
Saya tak ingat, entah hari apa ketika itu. Yang tercatat di benak: hari itu siang yang terik bertanggal 20 Mei 1998. Saya gelisah di rumah. Siaran RRI tak mampu menenangkan pikiran saya. Bahkan, sebaliknya, saya kian galau. Saya terpenjara di rumah sendiri. Ibarat gangsing, saya cuma berpusing-pusing dari dapur ke ruang tengah lalu melongok-longok ke luar rumah. Sampai suatu saat saya lihat sebuah mobil yang sudah saya kenal berhenti di depan rumah kami. Saya senang.
Si sopir turun, mengetuk pagar, dan begitu pintu rumah terbuka, ia berseru: ”Ayo, kita ke luar motret!” Saya melonjak gembira. Sebenarnya saya sudah tak tahan berdiam diri di rumah saja. Selain bosan pun saya tak tahu situasi terkini kota kelahiran saya. Karena itu, ajakan Pak Narto serta-merta menaikkan adrenalin saya. Pak Narto ialah Ambrosius Soenarto atawa Amb. Soenarto. Ia berasal dari Solo. Rumahnya di lingkungan keraton Surakarta. Sudah lama ia mencari nafkah di Semarang. Ia buka studio foto kecil—bernama Puma Studio—di Jalan Gajah Mada. Di sanalah saya dan kawan-kawan ”bermarkas”. Beberapa tahun berselang Pak Narto telah berpulang.
Tak menunggu lama-lama, saya lekas-lekas bersalin baju, memakai rompi, dan meraih tas isi kamera. Bergegas kami naik mobil. Kami melaju di tengah kota yang lengang. Jalan Pandanaran kami lewati. Kami menuju jantung kota: Simpang Lima. Di Jalan Imam Barjo, di halaman kampus Universitas Diponegoro, kami parkir. Segerombolan mahasiswa menoleh. Tatapan mereka menelisik tajam. Kami tak peduli. Sembari berjalan kami ikatkan secarik kain—bertuliskan ”reformasi”—melingkari kepala dan lengan kami. Langsung kami menuju ke Kantor Gubernur Jawa Tengah di Jalan Pahlawan. Rupanya massa terkonsentrasi di sana.
Di tengah halaman, menyatu dengan tiang bendera, berdiri panggung kecil. Massa menyemut di situ. Beberapa orang, termasuk mahasiswa, berorasi membakar semangat massa. Siang makin memanggang badan. Sebagian massa duduk-duduk. Sebagian lagi berdiri bergerombol. Gelombang manusia tak henti-henti berdatangan. Setiap kedatangan rombongan baru senantiasa disambut tempik-sorak oleh massa terdahulu: Selamat datang, Saudara-saudaraku! Rapatkan barisan!
Aha, seseorang naik ke panggung. Saya kenal sosok gemulai itu. Inong! Ia transgender, konon, lulusan Sastra Prancis Undip. Saya kenal Inong di Studio Foto Rona, di Jalan Jend. DI Panjaitan. Ia perias dan pematut gaya (stylist) di sana. Inong berjoget di panggung sambil sesekali berorasi. Entah apa yang diteriakkan tak jelas terdengar. Suasana gaduh. Massa tergelak riang melihat lagak Inong.
Tak lama, bergantian, naik pula ke panggung tiga sosok lain. Dua di antara mereka saya kenal baik, yakni Adhy Trisnanto dan Ign. Edi Cahyono Santoso. Yang pertama ialah pengusaha dan ahli periklanan. Sedangkan sosok kedua adalah advokat. Saya kenal mereka dari pergaulan di komunitas fotografi. Entah bagaimana mereka punya akses dan nyali tampil di tengah massa. Figur ketiga ialah Alvin Lie. Saya baru paham belakangan, Lie anak pengusaha toserba Mickey Mouse (belakangan toko ini bersalin nama Mickey Morse) di Jalan Depok. Sekarang Mickey Morse tinggal nama saja.
Ketiga orang Tionghoa tadi berorasi dengan penuh semangat. Pada intinya mereka mendukung perjuangan mahasiswa Semarang menumbangkan rezim Orde Baru. Mereka mengharapkan kehidupan politik yang lebih beradab. Pesan mereka, siapa saja boleh berdemo secara bebas, namun tak selayaknya melakukan tindakan bakar-membakar fasilitas publik atau milik rakyat yang tak bersalah. Massa berteriak mengamini isi pidato ketiganya.
Saya tak ingat, atau tepatnya saya tak tahu, siapa saja yang berorasi. Yang terbanyak, tampak dari atribut dan gayanya, adalah para mahasiswa. Tak jelas pula dari mana mereka berasal. Kumpulan manusia di sana pun tampak beragam. Sebagian pelajar, sebagian lain masyarakat umum. Gelombang manusia tak putus-putus mengular. Di tengah siang yang terik serombongan biarawati Katolik muncul. Sontak massa bergemuruh. Mereka girang melihat kehadiran para biarawati dengan senyum santunnya itu. Lambaian tangan disambut tinju-tinju yang menggedor langit.
Para orator terus membakar hari, menyemangati hati rakyat. Urat leher mereka menegang. Lewat pengeras suara mereka teriakkan tuntutan reformasi. Semangat mereka berdentam-bergelora.
"Turunkan Asu Harto!”
”Reformasi damai!”
”Jangan bakar Citraland! Jika terbakar, siapa yang rugi?!”
”Kitaaaaa...!” massa menjawab lantang.
”Reformasi damai!”
”Jangan bakar Citraland! Jika terbakar, siapa yang rugi?!”
”Kitaaaaa...!” massa menjawab lantang.
Silih berganti orang-orang berpidato di panggung. Sementara itu, ketersediaannya bak air bah, nasi bungkus dan air dalam kemasan tampak berlimpahan. Konon logistik itu sumbangan para pengusaha Tionghoa. Realitanya, gemuruh Reformasi 1998 tak sampai melumpuhkan Semarang. Kota ini, ibarat kolam ikan, cuma beriak-riak kecil.
Ketika itu, pada 1998, tak banyak orang memotret. Kamera SLR masih terhitung sebagai barang mahal. Perangkat telpon genggam berkamera belum lazim dalam genggaman. Perilaku memotret pun belum menjadi adat orang kebanyakan. Walhasil, hanya wartawanlah yang memotret keramaian di halaman Gubernuran saat itu. Satu sosok yang menonjol ialah Chandra Adi Nugroho. Ketika itu ia bekerja untuk harian sore Wawasan. Lantas ia pindah ke koran Kompas dan terakhir, jika tak salah, ia koresponden harian Kedaulatan Rakyat di Semarang. Bersama dia, antara lain, saya turut menggagas dan mendirikan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Semarang, September 2002. Di saat PFI Semarang lahir saya koresponden majalah FOTOmedia.
Pada peristiwa demo tadi saya turut memotret bersama Pak Narto. Saya akui, pada waktu itu kemampuan fotografi saya belum maksimal. Kesadaran sejarah saya pun tidak cukup kuat. Akibatnya, detik-detik bersejarah terlewat begitu saja. Kendati begitu, saya turut menyaksikan dan berada di pusaran sejarah bangsa ini. Sejarah kecil itu tercetak dalam beberapa lembar foto. Melihat ulah saya yang gencar memotret, Adhy Trisnanto tersenyum kecut dan menggerundel, ”Orang-orang lagi demo, kau malah enak-enakan hunting!”
Sehari setelah saya turut hadir di Gubernuran Jawa Tengah, Presiden Suharto mundur. Jenderal kelahiran Kemusuk, Bantul, Yogyakarta, itu melenggang keluar istana pada 21 Mei 1998 setelah bercokol selama 32 tahun. Wajah dan sejarah NKRI pun berubah.
Adhy Trisnanto, usai Reformasi 1998, lantas bekerja sebagai Pimpinan Redaksi tabloid Nurani Bangsa. Berkala mingguan ini disokong oleh beberapa orang pengusaha Tionghoa dengan tujuan mulia: melakukan advokasi politik terhadap kalangan Tionghoa Semarang. Sayangnya tabloid ini tak berumur panjang. Kemudian, berpusing bersama sejarah, Alvin Lie adalah anggota DPR RI untuk dua periode jabatan. Ia berasal dari Partai Amanat Nasional. Sedangkan Ign. Edi Cahyono Santoso kembali ke habitatnya sebagai pengacara.
***
Ingatan-ingatan tadi berseliweran, timbul-tenggelam, dan terang-benderang memunculkan kembali jejak-jejak peristiwa di halaman Gubernuran Jawa Tengah, pada tengah hari yang membakar, tanggal 20 Mei 1998. Semua itu berkelebat di dalam dan bersama foto.
Peristiwa-peristiwa pasti akan berlalu, orang pun tak selamanya hidup, dan jejak-jejak ingatan tak cuma terekam di benak, yang dalam hitungan waktu bisa pupus pula, namun trinitas manusia-peristiwa-ingatan hadir kembali dalam dan bersama kehadiran pemandang foto. Masalahnya, bagaimana imaji fotografis, yang diam-beku dan tak bersuara, hadir dan hidup dalam ingatan kita. Apakah setiap orang niscaya tergetar-dalam-haru yang sama pada foto sejenis?
Saya ingat, seraya mengutip pendapat Mallarmé, yang berkata bahwa semua hal di dunia niscaya berakhir dalam buku, Susan Sontag punya pandangan sendiri, yakni setakat ini apa saja berujung pada sebuah foto. Today everything exists to end in a photograph.
Pada alaf ketiga ini, semua hal tak hanya berakhir pada foto, namun, bahkan sebaliknya, manusia terjerat dan terperosok dalam imaji digitalis. Saya hanya citraan.
Tubagus P. Svarajati
Esais
CATATAN:
Esai diterbitkan di katalog pameran ”Faraway So Close” oleh MES56 di Galeri Semarang. Pameran berlangsung 13-27 April 2013.
No comments:
Post a Comment